Saya tidak mengira bahwa fatwa yang saya
keluarkan dalam menanggapi permasalahan nikah misyar akan menggegerkan Qatar
dan Negara-negara Teluk lainnya, Ketika
saya berkunjung ke Suriah sekitar kurang lebih dua minggu, saya rasakan imbas
dari semua ini. Saya kira perbedaan pendapat adalah hal yang wajar sebagai
respons dari semua fenomena yang baru muncul. Hal ini dialami oleh semua
lapisan masyarakat, baik oleh orang awam maupun orang terpelajar…[1]
Perbedaan pendapat
terkadang berakhir dengan satu persepsi, tetapi kadang kala juga akan terus
berlangsung, sehingga menimbulkan perpecahan dan sekat-sekat, beliau menambahkan:
Saya ingin menekankan bahwa dalam masalah furu>’
(parsial fiqih) bukan hal yang baru lagi. Perbedaan pendapat tidak akan
menimbulkan masalah bagi orang-orang yang imannya kuat selama berkisar tentang
perbedaan sudut pandang, hanya mempertentangkan tingkat dalil yang digunakan
oleh masing-masing pihak untuk menguatkan pendapatnya dengan semata-mata tidak
menuruti kehendak nafsu...[2]
Jadi,
menurutnya apabila perbedaan yang terjadi semacam itu maka akan diperoleh jalan
solusi terbaik. Akan tetapi, apabila perbedaan yang timbul karena dorongan
emosi dan sekadar mengikuti hawa nafsu, maka hanya akan memperkeruh masalah dan
semakin menjauhkan dari kebenaran hakiki, seperti dalam firman Allah:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“...Dan siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim.” (al-Qas}a>s}:50)[3]
Perbedaan pendapat yang semata-mata hanya
mengikuti hawa nafsu akan dapat berakibat, sebagaimana yang Rasulullah Saw.katakan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا )متفق عليه(
“Dari Abdullah bin amr berkata: saya
mendengar rasulullah bersabda sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara
langsung dari para ahli ibadah akan tetapi Allah akan mencabut ilmu dari para
ulama sehingga para manusia akan menganggap pemimpin yang bodoh ketika mereka
ditanya tentang persoalan ilmu mereka menjawab tanpa dasar ilmu maka sesat dan menyesatkan (Mutafaqun ‘Alaih).
Adapun perbedaan pendapat yang terbijak atas
pemahaman yang komprehensif, dengan menekankan etika yang berlaku, merupakan
sesuatu yang lumrah dan malah biasa menjadi rahmat yang untuk lebih jelasnya
lihat buku as}-S}ahwatul Isla>miyyah.
Manusia dalam menghadapi problematika kekinian
akan selalu beda pendapat, sebagaimana para ulama klasik telah berbeda pendapat.
Dalam menghadapi suatu permasalahan, pasti terdapat golongan yang melarang,
yang berhaluan keras dan yang agak lunak.
Sebagian teman saya mengatakan bahwa
akhir-akhir ini banyak wanita yang tidak senang kepada saya kepada saya
berkenaan dengan fatwa saya tentang nikah misyar dan menyarankan kepada agar
saya menarik kembali fatwa tersebut agar seperti ulama-ulama lain yang melarang
dilakukannya nikah misyar, semata- mata untuk mencari perhatian kaum wanita.
Saya katakana kepada mereka, “Apabila seorang alim dalam memberikan fatwa hanya
menginginkan acungan jempol dan agar disegani masyarakat tertentu, meskipun
Allah marah dengn fatwanya itu maka ulama tersebut telah meninggalkan ajaran
agamanya dan perjalanan hidupnya akan sesat, karena bagaimanapun perbuatan yang
hanya bertujuan memperoleh “hati” masyarakat adalah sesuatu perbuatan yang
tidak akan pernah kesampaian...”[4]
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
“Andai
kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi
ini, dan semua yang ada di dalamnya...” (Al-Mu’minu>n: 71)[5]
2.
Hakikat Nikah Misyar
a. Pengertian Nikah Misyar
Kata
misyar berasal dari bahasa Arab سار yang merupakan bentuk isim alat dari
kata سار
yang artinya yang artinya perjalanan. [6] Pengertian misyar menurut istilah,
sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya. Pengertian misyar ini
hanya ditemukan dalam kitab Zawa>jul Misyar Haqi>qatuhu wa
Hukmuhu, karangan Yu>suf Qarda>wi>, yang mendefinisikan misyar
yaitu singgah atau melewati dan tidak menetap dalam waktu yang lama.[7]
Adapun
pengertian nikah misyar yaitu:
وهو الزواج الذى يذهب فيه الرجل إلى بيت المرأة ، ولا تنتقل المرأة إلى بيت الرجل، وفى الغالب: تكون هذه زوجة ثانية ، وعنده زوجة أخرى هى التى تكون فى بيته وينفق عليها.
"Yaitu pernikahan
dimana seorang laki-laki (suami) mendatangi
kediaman wanita (isteri), dan wanita ini
tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada isteri
kedua, sedang laki-laki ini memiliki isteri lain di rumah yang
dinafkahinya."[8]
Saya teringat ketika masih kecil, ada tetangga
saya yang ditinggal mati suaminya, dia mempunyai dua anak. Setelah beberapa
tahun menjadi janda, ia nikah lagi dengan seorang laki-laki dari desa sebelah.
Karena dia memiliki anak dan rumah, maka laki-laki tersebutlah yang selalu
dating kerumahnya setiap minggu satu atau dua hari (rumah yang ia tempati
adalah rumah suami pertama). Dan laki-laki ini (suami yang baru) tidak
memberikan suatu apapun kepada isterinya,
baik nafkah maupun tempat tinggal, sebenarnya sebelum dilaksanakannya
pernikahan tersebut, oleh tetangga-tetangganya dia diperingatkan untuk menjauhi
laki-laki tersebut, karena menurut adat masyarakat, seorang janda kurang baik
untuk nikah lagi Dikarenakan
hukum syara>’ tidak melarang seorang janda untuk nikah lagi, maka wanita ini
tidak peduli dan tetap melanjutkan hubungnnya dengan laki-laki tersebut.
Setelah pernikahan mereka berlangsung beberapa tahun, akhirnya tetangga dan
masyarakat sekitar menerima dan setuju atas pernikahan mereka itu…[9]
3.
Istilah Bukan Menjadi Maksud dan Tujuan
Ketika saya ditanya mengenai nikah misyar, saya berkata, "saya tidak peduli dengan
istilah: yang menjadi perhatian dan permasalahan adalah hukum dan hakekatnya
bukan istilah atau namanya. Dalam kaidah syara>’ kita mengenal istilah,
‘yang dianggap dalam akad adalah tujuan dan maknanya bukan lafal dan
istilahnya. ‘mereka mengistilahkan nikah misyar terserah maunya, yang penting
dalam akad pernikahan syarat dan rukunnya harus terpenuhi....[10]
Rukun nikah
misyar adalah ija>b
dan qabu>l yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk
melaksanakannya. Disamping, itu ija>b dan qabu>l diharapkan
dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara nikah yang
dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada
khalayak ramai, agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang
saksi dan wali (menurut pendapat Ima>m Ma>lik, Ima>m Syafi’I, dan Imam
Ahmad. Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa pernikahan tidak boleh
dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk
melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus membayar mas nikah,
baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah masnikah
tersebut diserahkan kepada calon isterinya, boleh si isteri tana>zul
‘menyerahkan kembali’ sebagian dari masnikah itu atau bahkan keseluruhannya,
sesuai dengan firman Allah SWT.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah masnikah
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari masnikah
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa>’:4)[11]
Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang
wanita tanpa memberikan mahar atau masnikah, maka akadnya tetap dianggap sah,
tetapi wanita tersebut mempunyai hak mahar mis\l (mahar yang disamakan).[12] Dan, setelah
terpenuhinya empat perkara diatas, ija>b dan qabu>l yang
dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada
khalayak ramai agar pernikahan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya
diketahui oleh khayalak secara terbatas, pernikahan itu tidak dibatasi masanya,
dan dipenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si isteri mengembalikannya
maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah.
Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah
seorang wanita memberikan keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali
hak bersenggama, syarat seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat
menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal.[13]
Apakah seorang perempuan boleh bertana>zul
(tidak menuntut) hak-haknya terhadap suaminya? Apakah hal semacam ini biasa
mempengaruhi akad nikah?
Menurut Yu>suf Qard{a>wi yakin, seorang ahli agama tidak mempunyai alasan untuk
melarang seorang wanita yang melaksanakan pernikahan dengan model pernikahan
ini (misyar), yaitu dengan melakukan tana>zul dari sebagian
hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri,
karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang
terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang
mengetahui mana yang dapat mendatangkan manfaat dan mana yang dapat
mendatangkan kerugian dan tidak masuk dalam kategori orang yang harus
dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh.
Disyaratkan bagi wanita yang melakukan tana>zul
akan mempunyai wali yang terdiri dari: bapak, saudara laki-laki, dan
orang-orang yang tidak rela melihat dia (wanita tersebut) menjadi korban dari
seorang laki-laki (bagi pengikut mazhab yang mensyaratkan adanya wali dalam
akad nikah, seperti yang terjadi disebagian besar negara-negara Teluk yang
bermazhab Maliki dan H}ambali).
Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang
rela untuk mengurangi haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan
sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah
satu isteri Rasulullah Saw. Yaitu: Saudah binti Zam’ah.
Ia adalah isteri pertama yang dinikahi
Rasulullah Saw. setelah Khodijah r.a.. Saudah r.a. adalah seorang perempuan
yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw. Tidak akan memperlakukannya dengan
mesra, sebagaimana sebelumya. Ia sangat khawatir kalau Nabi Saw.
Menceraikannya, predikatnya sebagai Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut,
kalau nantinya setelah hari pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi isteri)
Rasulullah Saw di surga. Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tana>zul
(keringanan) untuk dikumpuli Nabi Saw. Dan diberikannya hak tersebut kepada isteri
Rasulullah Saw yang lain, yaitu Aisyah r.a.. dengan adanya keringanan ini,
Rasulullah Saw sangat berterima kasih dan menempatkan Saudah r.a. pada tempat
yang mulia sesuai dengan firman Allah SWT.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” (an-Nisa>’:128)[14]
Yu>suf Qard{a>wi menekankan lebih setuju
kalau tana>zul ini tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua
belah pihak saling mengerti dan saling memahami dengan sendirinya, walaupun
jika tana>zul tersebut disebutkan dalam akad, hal itu tidak
membatalkan akad. Menurutnya, memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban,
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dan rasul-rasulnya, yaitu
agar kita memenuhi janji, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Nabi Saw.
Bersabda:
وقال النّبى صلى
الله عليه وسلّم المسلمون عند شروطهم
“Orang-orang muslim harus memenuhi syarat-syarat (janji) mereka.”
(HR.Bukhari dan
Muslim)[15]
Dalam hadis sah}ih lain, Nabi Saw. Bersabda:
أحق
الشروط
أن
توفوا
به: ما
استحللتم
به
الفروج
“Syarat-syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah syarat
dalam pernikahan.” [16]
Akan tetapi, kalau syarat ini sudah terlanjur
disebutkan dalam akad maka tidak membatalkan akad.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat
semacam ini tidak layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya
tetap sah dan hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
H{ani<fah yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam kitab al-Muqni<’ dan
lainnya.
Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar
suami tidak perlu memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian
lebih dibanding isteri lain (bagian lebih banyak atau lebih sedikit). Syarat
seperti ini batal akan tetapi nikahnya tetap sah.
Dalam al-Inshaaf disebutkan, “begitu juga
kalau salah satu mempelai mensyaratkan untuk tidak senggama.”[17]
Sebagian ulama mengatakan nikahnya batal dan
sebagian yang lain mengatakan nikahnya batal jika di dalam syarat dikatakan
untuk tidak bersenggama.
Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufroda>t-nya:
Abu Bakar menyebutkan
bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syarat-syarat untuk tidak bersenggama,
tidak memberikan nafkah, atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah
dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah...[18]
Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai
pendapat tentang sahnya syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, “seumpama
seorang suami kesulitan ekonomi dan sang isteri menerima hal itu, maka sang isteri
tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah”[19]
ia mengatakan bahwa akad akan batal jika dalam akad disyaratkan untuk tidak
membayar mahar. Pendapat ini merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.
Fenomena semacam ini,
adalah seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar r.a. terhadap sahabat Huz\aifah.
Beliau memerintahkan huzaifah untuk menceraikan isterinya yang beragama Yahudi
atau Majusi (yang beliau nikahi ketika di Madain). Kemudian sahabat Huz\aifah
berkirim surat kepada khalifah Umar r.a. menjawab:
“Apa yang
kamu lakukan bukan merupakan sesuatu yang diharamkan, tetapi saya khawatir apa
yang kamu lakukan akan menjadikan fitnah bagi kamu dan kaum muslimah...[20]
Yu>suf Qard{a>wi menambahkan “Saya
berkata kepada mereka, Ketidakmampuan kita dalam menangani suatu persoalan,
tidak mengharuskan kita untuk tidak berbuat sama sekali, serta tidak berusaha
mencari solusi berikutnya…[21]
Ketika mereka
(wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model nikah misyar adalah
salah satu solusi (tentunya dengan memilih laki-laki yang betul-betul baik budi
pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha), lantas kenapa kita malah
menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara (dengan mengharamkannya). Padahal
zaman sekarang adalah zaman dimana pintu perbuatan haram terbuka lebar-lebar.
Yu>suf Qard{a>wi berharap
agar apa yang dilakukan ini dapat menjadikan sebuah solusi dan sebagai jalan
petunjuk yang benar. Allah SWT. adalah Yang Berkata benar dan sebaik-baik
pemberi petunjuk.
A.
Pendapat Ulama’ Pendukung Nikah Misyar
Para pendukung nikah misyar mayoritas
adalah ulama fiqih Saudi yang tergabung dalam satu organisasi bernama Majmu’
Ulama Fiqh (MUF) yang membolehkan pernikahan misyar dengan syarat-syarat yang ketat.[22]
Para ulama MUF antara lain
Syeikh Muhammad Ali dan Syeikh Bakr Abu Zaid berpendapat bahwa pernikahan misyar
adalah sebagai solusi bagi para
janda yang mapan secara ekonomi. Setelah rukun dan syaratnya terpenuhi menurut mereka
secara hukum syar’i sah nikahnya juga ada pengalihan hak dan kewajiban,
lazimnya suami menafkahi isteri.
dalama hal nikah misyar kewajiban dialihkan kepada isteri yang
berkewajiban menafkahi suami. Karena si isteri tidak menuntut apapun dari
suami, ia dianggap lebih mapan. Selain tidak datang dalam beberapa hari dalam
seminggu atau bahkan sebulan sekali, suami hanya datang untuk memenuhi
kebutuhan biologis sang isteri bahkan sebaliknya, kebutuhan suami yang dipenuhi
isteri.
Nikah ini pula juga telah
diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Dan diresmikan
di Mesir oleh Syeikh Muhammad Sayyid T{ontowi pada tahun 1999.[23]
B.
Pendapat Ulama’ Penentang Nikah Misyar
Meskipun ada ulama yang
mendukung pernikahan misyar ini
ada juga para ulama yang menentang keras pernikahan ini. Para ulama yang
menentang dilangsungkannya pernikahan ini mengatakan bahwa nikah semacam ini
tidak bias memenuhi tujuan dilaksanakannya nikah secara syara’. Karena nikah
semacam ini hanya merupakan pelampiasan hawa nafsu dan sebatas mencari
kesenangan.
Dalam Islam pernikahan
memiliki tujuan lebih dari itu. Pernikahan dijadikan wahana agar spesies
manusia terjaga, sebagai sarana untuk mencari ketenangan serta sebagai tempat
saling mengasihi dan menyayangi. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ima>m Ahmad dalam masalah zawa>j
an-nahariyyat (nikah yang hanya berlangsung beberapa hari atau malam) ketidak
setujuan Ima>m Ahmad terhadap nikah ini berdasarkan pada hadis nabi yang diriwaayatkan oleh Ima>m Bukhari :
حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“ telah berbicara kepada kami dari Anas dari Nabi Saw. Bersabda:Tidak beriman seorang mukmin diantara
kamu sebelum mencintai isterinya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”[24]
Para ulama penentang nikah
misyar lebih mengkhawatirkan dampak negatif terhadap kehidupan rumah
tangga dan bermasyarakat apalagi kalau sampai memiliki keturunan, si anak tidak
bisa merasakan keutuhan sebuah rumah tangga penyebabnya mayoritas pernikahan
ini tidak diikuti dengan isya>r (pemberitahuan kepada khalayak umum)
pernikahan ini bersifat diam.
Pernikahan bukan hanya
sebatas halalnya hubungan biologis tapi ada konsekwensi sosial yang harus di
tanggung, Syeikh Ahmad Abdullah al-Quraisy mengatakan “dengan nikah kita juga
akan terhalang dari fitnah, tapi nikah misyar hanya menimbulkan fitnah baru”.[25]
Syeikh Utaimah
mengatakan pada bagian pernyataan pada sebagian pernyataannya, bahwa nikah misyar
mungkin sah tapi tidak bermoral. Menurutnya nikah misyar bahkan dipertimbangkan
sebagai hal yang haram karena pernikahan tersebut berlawanan dengan tujuan pernikahan.
Ia menambahkan
pentingnya dampak social dari pernikahan tersebut khususnya terhadap anak yang
dilahirkan dari pernikahan ini, yang mana dia akan terus ditinggal oleh ayahnya
tanpa alasan situasi tersebut menjadi lebih buruk apabila isterinya tidak
diakui oleh suaminya.
Awalnya dia membolehkan
nikah misyar tapi pertimbangan
berubah karena sekarang pernikahan misyar beralih pada perdagangan nyata
yang dipasarkan dalam skala besar oleh biro pernikahan yang tidak ada
hubungannya dengan pernikahan dalam Islam yang ada. Kritik dari pernikahan ini
adalah apabila isteri menjadi terlantar
apabila terjadi perceraian bahkan reputasinya akan jelek. Menurut pendukung nikah
misyar walaupun mereka mengetahui
akan akibat-akibat diatas, bukan masalah bagi mereka, akan tetapi dari segi
apa orang-orang menerapkan syari’at
tersebut. Sekarang ini sejumlah Negara muslim melarang pernikahan ini.
[5]
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h.711
[6]
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab – Indonesia, h.504
[7]
Yu>suf Qarda>wi>, Zawa>jul Misya>r Haqi>qatuhu wa Hukmuhu,
,h. 10
[8] Ibid., h. 11
[9]
Ibid.
[12] Yaitu mahar yang menjadi hak seorang wanita ketika terjadi pisah
antara dia dan suaminya. Dan, besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang
diperoleh oleh seorang wanita yang sederajat dengannya.
[13] Meskipun begitu ada sebagian ulama yang mengatakan sahnya akad
tersebut, seperti yang terdapat dalam kitab al-Mabda>’ yang
dituturkan oleh Ibnu Taimiyah dan akan saya jelaskan dalam pembahasan
berikutnya.
[17] Yu>suf Qard{awi, Zawa>jul Misya>r …,
h. 11
[19]
Ibid
[22]
www.islamonline.net
(15 May 2008)
[23]
Dikutip : http//www.myquran.org/.html (6 May 2008) dan www.wikipedi.org/html (8 May 2008)
[24]
Imam Bukhori, Shahih Bukhori, Juz I, h.12
[25]
http//en.wikipedia.org/wiki/misyar marriage (18 May 2008)
0 komentar:
Post a Comment