Friday, March 6, 2015

Fatwa Yusuf Qardawi Tentang Nikah Misyar ( nikah model gigolo masa kini)

Fatwa  Yu>suf Qard{a>wi Tentang Nikah Misyar




Saya tidak mengira bahwa fatwa yang saya keluarkan dalam menanggapi permasalahan nikah misyar akan menggegerkan Qatar dan Negara-negara Teluk lainnya, Ketika saya berkunjung ke Suriah sekitar kurang lebih dua minggu, saya rasakan imbas dari semua ini. Saya kira perbedaan pendapat adalah hal yang wajar sebagai respons dari semua fenomena yang baru muncul. Hal ini dialami oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh orang awam maupun orang terpelajar…[1]


 Perbedaan pendapat terkadang berakhir dengan satu persepsi, tetapi kadang kala juga akan terus berlangsung, sehingga menimbulkan perpecahan dan sekat-sekat,  beliau menambahkan:
Saya ingin menekankan bahwa dalam masalah furu>’ (parsial fiqih) bukan hal yang baru lagi. Perbedaan pendapat tidak akan menimbulkan masalah bagi orang-orang yang imannya kuat selama berkisar tentang perbedaan sudut pandang, hanya mempertentangkan tingkat dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak untuk menguatkan pendapatnya dengan semata-mata tidak menuruti kehendak nafsu...[2]

 Jadi, menurutnya apabila perbedaan yang terjadi semacam itu maka akan diperoleh jalan solusi terbaik. Akan tetapi, apabila perbedaan yang timbul karena dorongan emosi dan sekadar mengikuti hawa nafsu, maka hanya akan memperkeruh masalah dan semakin menjauhkan dari kebenaran hakiki, seperti dalam firman Allah:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (al-Qas}a>s}:50)[3]

Perbedaan pendapat yang semata-mata hanya mengikuti hawa nafsu akan dapat berakibat, sebagaimana yang Rasulullah Saw.katakan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا )متفق عليه(

“Dari Abdullah bin amr berkata: saya mendengar rasulullah bersabda sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari para ahli ibadah akan tetapi Allah akan mencabut ilmu dari para ulama sehingga para manusia akan menganggap pemimpin yang bodoh ketika mereka ditanya tentang persoalan ilmu mereka menjawab tanpa dasar ilmu maka sesat dan menyesatkan (Mutafaqun ‘Alaih).

Adapun perbedaan pendapat yang terbijak atas pemahaman yang komprehensif, dengan menekankan etika yang berlaku, merupakan sesuatu yang lumrah dan malah biasa menjadi rahmat yang untuk lebih jelasnya lihat buku as}-S}ahwatul Isla>miyyah.
Manusia dalam menghadapi problematika kekinian akan selalu beda pendapat, sebagaimana para ulama klasik telah berbeda pendapat. Dalam menghadapi suatu permasalahan, pasti terdapat golongan yang melarang, yang berhaluan keras dan yang agak lunak.
Sebagian teman saya mengatakan bahwa akhir-akhir ini banyak wanita yang tidak senang kepada saya kepada saya berkenaan dengan fatwa saya tentang nikah misyar dan menyarankan kepada agar saya menarik kembali fatwa tersebut agar seperti ulama-ulama lain yang melarang dilakukannya nikah misyar, semata- mata untuk mencari perhatian kaum wanita. Saya katakana kepada mereka, “Apabila seorang alim dalam memberikan fatwa hanya menginginkan acungan jempol dan agar disegani masyarakat tertentu, meskipun Allah marah dengn fatwanya itu maka ulama tersebut telah meninggalkan ajaran agamanya dan perjalanan hidupnya akan sesat, karena bagaimanapun perbuatan yang hanya bertujuan memperoleh “hati” masyarakat adalah sesuatu perbuatan yang tidak akan pernah kesampaian...”[4]

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya...” (Al-Mu’minu>n: 71)[5]

2.      Hakikat Nikah Misyar
a. Pengertian Nikah Misyar
Kata misyar berasal dari bahasa Arab سار yang merupakan bentuk isim alat dari kata سار yang artinya yang artinya perjalanan. [6] Pengertian misyar menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya. Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawa>jul Misyar Haqi>qatuhu wa Hukmuhu, karangan Yu>suf Qarda>wi>, yang mendefinisikan misyar yaitu singgah atau melewati dan tidak menetap dalam waktu yang lama.[7]
Adapun pengertian nikah misyar yaitu:
وهو الزواج الذى يذهب فيه الرجل إلى بيت المرأة ، ولا تنتقل المرأة إلى بيت الرجل، وفى الغالب: تكون هذه زوجة ثانية ، وعنده زوجة أخرى هى التى تكون فى بيته وينفق عليها.

"Yaitu pernikahan dimana seorang laki-laki (suami)  mendatangi kediaman wanita (isteri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada isteri kedua, sedang laki-laki ini memiliki isteri lain di rumah yang dinafkahinya."[8]

Saya teringat ketika masih kecil, ada tetangga saya yang ditinggal mati suaminya, dia mempunyai dua anak. Setelah beberapa tahun menjadi janda, ia nikah lagi dengan seorang laki-laki dari desa sebelah. Karena dia memiliki anak dan rumah, maka laki-laki tersebutlah yang selalu dating kerumahnya setiap minggu satu atau dua hari (rumah yang ia tempati adalah rumah suami pertama). Dan laki-laki ini (suami yang baru) tidak memberikan suatu apapun kepada isterinya, baik nafkah maupun tempat tinggal, sebenarnya sebelum dilaksanakannya pernikahan tersebut, oleh tetangga-tetangganya dia diperingatkan untuk menjauhi laki-laki tersebut, karena menurut adat masyarakat, seorang janda kurang baik untuk nikah lagi  Dikarenakan hukum syara>’ tidak melarang seorang janda untuk nikah lagi, maka wanita ini tidak peduli dan tetap melanjutkan hubungnnya dengan laki-laki tersebut. Setelah pernikahan mereka berlangsung beberapa tahun, akhirnya tetangga dan masyarakat sekitar menerima dan setuju atas pernikahan mereka itu…[9]



3.      Istilah Bukan Menjadi Maksud dan Tujuan
Ketika saya ditanya mengenai nikah misyar, saya berkata, "saya tidak peduli dengan istilah: yang menjadi perhatian dan permasalahan adalah hukum dan hakekatnya bukan istilah atau namanya. Dalam kaidah syara>’ kita mengenal istilah, ‘yang dianggap dalam akad adalah tujuan dan maknanya bukan lafal dan istilahnya. ‘mereka mengistilahkan nikah misyar terserah maunya, yang penting dalam akad pernikahan syarat dan rukunnya harus terpenuhi....[10]

Rukun nikah misyar adalah ija>b dan qabu>l yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Disamping, itu ija>b dan qabu>l diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara nikah yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali (menurut pendapat Ima>m Ma>lik, Ima>m Syafi’I, dan Imam Ahmad. Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa pernikahan tidak boleh dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus membayar mas nikah, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah masnikah tersebut diserahkan kepada calon isterinya, boleh si isteri tana>zul ‘menyerahkan kembali’ sebagian dari masnikah itu atau bahkan keseluruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
 “Berikanlah masnikah (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari masnikah itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa>’:4)[11]

Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa memberikan mahar atau masnikah, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi wanita tersebut mempunyai hak mahar mis\l (mahar yang disamakan).[12] Dan, setelah terpenuhinya empat perkara diatas, ija>b dan qabu>l yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai agar pernikahan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya diketahui oleh khayalak secara terbatas, pernikahan itu tidak dibatasi masanya, dan dipenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si isteri mengembalikannya maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah.
Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal.[13]
Apakah seorang perempuan boleh bertana>zul (tidak menuntut) hak-haknya terhadap suaminya? Apakah hal semacam ini biasa mempengaruhi akad nikah?
Menurut Yu>suf  Qard{a>wi yakin, seorang ahli agama tidak mempunyai alasan untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan pernikahan dengan model pernikahan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tana>zul dari sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal, baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan manfaat dan mana yang dapat mendatangkan kerugian dan tidak masuk dalam kategori orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh.
Disyaratkan bagi wanita yang melakukan tana>zul akan mempunyai wali yang terdiri dari: bapak, saudara laki-laki, dan orang-orang yang tidak rela melihat dia (wanita tersebut) menjadi korban dari seorang laki-laki (bagi pengikut mazhab yang mensyaratkan adanya wali dalam akad nikah, seperti yang terjadi disebagian besar negara-negara Teluk yang bermazhab Maliki dan H}ambali).
Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah satu isteri Rasulullah Saw. Yaitu: Saudah binti Zam’ah.
Ia adalah isteri pertama yang dinikahi Rasulullah Saw. setelah Khodijah r.a.. Saudah r.a. adalah seorang perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw. Tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagaimana sebelumya. Ia sangat khawatir kalau Nabi Saw. Menceraikannya, predikatnya sebagai Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi isteri) Rasulullah Saw di surga. Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tana>zul (keringanan) untuk dikumpuli Nabi Saw. Dan diberikannya hak tersebut kepada isteri Rasulullah Saw yang lain, yaitu Aisyah r.a.. dengan adanya keringanan ini, Rasulullah Saw sangat berterima kasih dan menempatkan Saudah r.a. pada tempat yang mulia sesuai dengan firman Allah SWT.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” (an-Nisa>’:128)[14]

Yu>suf Qard{a>wi menekankan lebih setuju kalau tana>zul ini tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan saling memahami dengan sendirinya, walaupun jika tana>zul tersebut disebutkan dalam akad, hal itu tidak membatalkan akad. Menurutnya, memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dan rasul-rasulnya, yaitu agar kita memenuhi janji, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Nabi Saw. Bersabda:
وقال النّبى صلى الله عليه وسلّم المسلمون عند شروطهم
 Orang-orang muslim harus memenuhi syarat-syarat (janji) mereka.” (HR.Bukhari dan Muslim)[15]

Dalam hadis sah}ih lain, Nabi Saw. Bersabda:
أحق الشروط أن توفوا به: ما استحللتم به الفروج

“Syarat-syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah syarat dalam pernikahan.” [16]

Akan tetapi, kalau syarat ini sudah terlanjur disebutkan dalam akad maka tidak membatalkan akad.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu H{ani<fah yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam kitab al-Muqni<’ dan lainnya.
Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding isteri lain (bagian lebih banyak atau lebih sedikit). Syarat seperti ini batal akan tetapi nikahnya tetap sah.
Dalam al-Inshaaf disebutkan, “begitu juga kalau salah satu mempelai mensyaratkan untuk tidak senggama.[17]
Sebagian ulama mengatakan nikahnya batal dan sebagian yang lain mengatakan nikahnya batal jika di dalam syarat dikatakan untuk tidak bersenggama.
Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufroda>t-nya:
 Abu Bakar menyebutkan bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syarat-syarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan nafkah, atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah...[18]

Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, “seumpama seorang suami kesulitan ekonomi dan sang isteri menerima hal itu, maka sang isteri tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah”[19] ia mengatakan bahwa akad akan batal jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar mahar. Pendapat ini merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.
Fenomena semacam ini, adalah seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar r.a. terhadap sahabat Huz\aifah. Beliau memerintahkan huzaifah untuk menceraikan isterinya yang beragama Yahudi atau Majusi (yang beliau nikahi ketika di Madain). Kemudian sahabat Huz\aifah berkirim surat kepada khalifah Umar r.a. menjawab:
 “Apa yang kamu lakukan bukan merupakan sesuatu yang diharamkan, tetapi saya khawatir apa yang kamu lakukan akan menjadikan fitnah bagi kamu dan kaum muslimah...[20]

Yu>suf Qard{a>wi menambahkan “Saya berkata kepada mereka, Ketidakmampuan kita dalam menangani suatu persoalan, tidak mengharuskan kita untuk tidak berbuat sama sekali, serta tidak berusaha mencari solusi berikutnya…[21]

Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model nikah misyar adalah salah satu solusi (tentunya dengan memilih laki-laki yang betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha), lantas kenapa kita malah menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara (dengan mengharamkannya). Padahal zaman sekarang adalah zaman dimana pintu perbuatan haram terbuka lebar-lebar.
Yu>suf Qard{a>wi berharap agar apa yang dilakukan ini dapat menjadikan sebuah solusi dan sebagai jalan petunjuk yang benar. Allah SWT. adalah Yang Berkata benar dan sebaik-baik pemberi petunjuk.
A.    Pendapat Ulama’ Pendukung Nikah Misyar
     Para pendukung nikah misyar mayoritas adalah ulama fiqih Saudi yang tergabung dalam satu organisasi bernama Majmu’ Ulama Fiqh (MUF) yang membolehkan pernikahan misyar  dengan syarat-syarat yang ketat.[22]
Para ulama MUF antara lain Syeikh Muhammad Ali dan Syeikh Bakr Abu Zaid berpendapat bahwa pernikahan misyar  adalah sebagai solusi bagi para janda yang mapan secara ekonomi. Setelah rukun dan syaratnya terpenuhi menurut mereka secara hukum syar’i sah nikahnya juga ada pengalihan hak dan kewajiban, lazimnya suami menafkahi isteri.
 dalama hal nikah misyar  kewajiban dialihkan kepada isteri yang berkewajiban menafkahi suami. Karena si isteri tidak menuntut apapun dari suami, ia dianggap lebih mapan. Selain tidak datang dalam beberapa hari dalam seminggu atau bahkan sebulan sekali, suami hanya datang untuk memenuhi kebutuhan biologis sang isteri bahkan sebaliknya, kebutuhan suami yang dipenuhi isteri.
Nikah ini pula juga telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Dan diresmikan di Mesir oleh Syeikh Muhammad Sayyid T{ontowi pada tahun 1999.[23]
B.     Pendapat Ulama’ Penentang Nikah Misyar
Meskipun ada ulama yang mendukung pernikahan misyar  ini ada juga para ulama yang menentang keras pernikahan ini. Para ulama yang menentang dilangsungkannya pernikahan ini mengatakan bahwa nikah semacam ini tidak bias memenuhi tujuan dilaksanakannya nikah secara syara’. Karena nikah semacam ini hanya merupakan pelampiasan hawa nafsu dan sebatas mencari kesenangan.
Dalam Islam pernikahan memiliki tujuan lebih dari itu. Pernikahan dijadikan wahana agar spesies manusia terjaga, sebagai sarana untuk mencari ketenangan serta sebagai tempat saling mengasihi dan menyayangi. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan  oleh Ima>m Ahmad dalam masalah zawa>j an-nahariyyat (nikah yang hanya berlangsung beberapa hari atau malam) ketidak setujuan Ima>m Ahmad terhadap nikah ini berdasarkan pada hadis nabi yang diriwaayatkan oleh Ima>m Bukhari :
حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“ telah berbicara kepada kami dari Anas dari Nabi Saw. Bersabda:Tidak beriman seorang mukmin diantara kamu sebelum mencintai isterinya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”[24]

Para ulama penentang nikah misyar lebih mengkhawatirkan dampak negatif terhadap kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat apalagi kalau sampai memiliki keturunan, si anak tidak bisa merasakan keutuhan sebuah rumah tangga penyebabnya mayoritas pernikahan ini tidak diikuti dengan isya>r (pemberitahuan kepada khalayak umum) pernikahan ini bersifat diam.
Pernikahan bukan hanya sebatas halalnya hubungan biologis tapi ada konsekwensi sosial yang harus di tanggung, Syeikh Ahmad Abdullah al-Quraisy mengatakan “dengan nikah kita juga akan terhalang dari fitnah, tapi nikah misyar  hanya menimbulkan fitnah baru”.[25]
Syeikh Utaimah mengatakan pada bagian pernyataan pada sebagian pernyataannya, bahwa nikah misyar mungkin sah tapi tidak bermoral. Menurutnya nikah misyar bahkan dipertimbangkan sebagai hal yang haram karena pernikahan tersebut berlawanan dengan tujuan pernikahan.
Ia menambahkan pentingnya dampak social dari pernikahan tersebut khususnya terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan ini, yang mana dia akan terus ditinggal oleh ayahnya tanpa alasan situasi tersebut menjadi lebih buruk apabila isterinya tidak diakui oleh suaminya.
Awalnya dia membolehkan nikah misyar  tapi pertimbangan berubah karena sekarang pernikahan misyar beralih pada perdagangan nyata yang dipasarkan dalam skala besar oleh biro pernikahan yang tidak ada hubungannya dengan pernikahan dalam Islam yang ada. Kritik dari pernikahan ini adalah  apabila isteri menjadi terlantar apabila terjadi perceraian bahkan reputasinya akan jelek. Menurut pendukung nikah misyar  walaupun mereka mengetahui akan akibat-akibat diatas, bukan masalah bagi mereka, akan tetapi dari segi apa  orang-orang menerapkan syari’at tersebut. Sekarang ini sejumlah Negara muslim melarang pernikahan ini.




   [1] Yu>suf  Qard{awi>, Zawa>jul Misya>r Haqi>qatuhu> wa Hukmuhu>, h. 5
                [2] Ibid, h.6
                [3] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h.609
                [4] Yu>suf  Qard{awi, Zawa>jul Misya>r…, h. 10
[5] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h.711
[6] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab – Indonesia, h.504
[7] Yu>suf Qarda>wi>, Zawa>jul Misya>r Haqi>qatuhu wa Hukmuhu, ,h. 10
[8] Ibid., h. 11
[9] Ibid.
  [10] Ibid, h.11

           [11]  Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h.115
[12] Yaitu mahar yang menjadi hak seorang wanita ketika terjadi pisah antara dia dan suaminya. Dan, besarnya mahar ini disamakan dengan mahar yang diperoleh oleh seorang wanita yang sederajat dengannya.
[13] Meskipun begitu ada sebagian ulama yang mengatakan sahnya akad tersebut, seperti yang terdapat dalam kitab al-Mabda>’ yang dituturkan oleh Ibnu Taimiyah dan akan saya jelaskan dalam pembahasan berikutnya.
                [14]  Depag RI, Al-Qur'an..., h.143
                [15]  Al-ha>fiz} zaki al-di>n abd al-azhim al-mundiri , Mukhtashar S{ah}i>h} Muslim, h. 116
                [16]  Ibid, h. 433
[17]  Yu>suf  Qard{awi, Zawa>jul Misya>r …, h. 11
                [18]  Ibid.
[19] Ibid
 [20]   Ibid, h. 27
 [21]   Ibid, h. 28
[22] www.islamonline.net (15 May 2008)
[23] Dikutip : http//www.myquran.org/.html (6 May 2008) dan www.wikipedi.org/html  (8 May 2008)
[24] Imam Bukhori, Shahih Bukhori, Juz I, h.12
[25] http//en.wikipedia.org/wiki/misyar marriage (18 May 2008)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Fatwa Yusuf Qardawi Tentang Nikah Misyar ( nikah model gigolo masa kini)

0 komentar:

Post a Comment